Senin, 05 November 2018

Salafi anti Demo


Ketika  Salafi anti dengan “demo”
Oleh:ahmad Budiman

Beberapa teman saya sering memposting di berbagai akun media sosialnya tentang hukum “berdemo” seperti gerakan 212 atau yang terbaru sekarang yaitu gerakan bela tauhid, dengan berbagai alasan mereka membuat pernyataan yang intinya adalah demo itu haram. Sebagai contoh mereka katakan bahwa demo tidak ada pada zaman Nabi dan sahabatnya,demo hanya mengandung mudorat,demo hanya menjadi polusi dll,lebih lengkapnya silahkan lihat di Youtube begaimana pernyataan ulama-ulama salafi (salafi mainstream) tentang demo baik yang di luar negri khususnya arab Saudi atau yang di Indonesia,
pertanyaan apakah demo itu haram? Atau mungkin ada sesuatu di balik layar sehingga mereka gencar menyatakan bahwa demo itu haram.

Hukum demo dalam islam

Dalam bahasa arab demo disebut “muzaharaat” secara jelas tidak ada ditemukan dalil yang menyatakan bahwa demo itu haram dan juga sebaliknya tidak ad dalil yang jelas menyatakan bahwa demo itu di bolehkan,lalu jika demikian bagaimana hukumnya,tentu kita kembalikan pada hukum asal yakni “ hukum asal pada segala sesuatu adalah boleh,selama tidak ada nash yang mengharamkannya ”oleh karenanya demo adalah hal yang dibolehkan asalakan tidak mengganggu kemaslahatan umum.
Salah satu ulama salafi yang gencar menyatakan demo haram adalah Shalih bin fauzan bin Abdullah al fauzan,beliau menyatakan yang intinya adalah “dermonstarsi tidak ditemukan dalam islam dan hanya menimbulkan pertumpahan darah dan kerusakan harta benda maka oleh sebab itulah demo di haramkan”
Menurut pandangan kami pernyatan ulama salafi yang menyyatakan bahwa demo adalah sebab dari pertumpahan darah dan kerusakan harta benda adalah tidak cocok,apakah semua demo berkhir dengan pertumpahan darah atau kerusakan harta benada? Tentu tidak, oleh karnanya menurut hemat kami pernyataan ulama salafi yang menyatakan pernyatan seperti diatas adalah lebih kepada alasan politis karena beliu-beliau ini adalah para mufti kerajaan Saudi Arabia yang menganut monarki absoulut yang mana tidak ada membuka celah untuk berdemonstrasi bagi warganya.

Sikap Apolitis

Mengutip tulisan Muhmmad zulfian dalam artikelnya beliau menuliskan

Secara umum, jamaah Salafi tidak mempunyai konsep sosial-politik apalagi metode mengishlah negara. Bagi mereka, wajib hukumnya untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaan sang pemimpin selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada pemerintah tersebut terpengaruh oleh sejarah negara saudi sebagai basis ideologi Salafi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).
Salafi bercita-cita mengadopsi kehidupan generasi salaf yang hidup di jazirah Arab ribuan tahun lalu tanpa memisahkan mana perkara tsawabit (permanen) dan mana yang mutaghayyirat (dinamis) dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia. Mereka mempraktekkan secara letterlijk apa-apa yang ada di masa salaf hingga ke ranah sosial budaya dan politik sekalipun. Meskipun kenyataannya, cara merujuk generasi salaf tersebut didasarkan atas penafsiran para ulama kontemporer Arab Saudi seperti Syaikh Nasiruddin al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan, dst. Yang jelas, seluruh ulama di dunia sudah barang tentu merujuk generasi Salaf dan tidak terbatas pada ulama-ulama Saudi tersebut.
Alhasil, pandangan sosial-politik kaum salafi justru pada akhirnya mengikuti kebijakan Raja dan para ulama dalam konteks masyarakat Arab Saudi yang sama sekali berbeda dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Padahal di Arab Saudi, seluruh aspek kehidupan diatur negara hingga imam masjid pun ditunjuk dan digaji kerajaan. Tugas rakyat hanya satu; patuh pada perintah Raja
Sementara di tanah air sudah ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi jamaah dan ormas Islam di Indonesia dalam menentukan sikap kaum muslimin. Hal ini yang menjadikan kaum salafi menderita gagap sosial dimana satu sisi mereka tinggal di bumi Indonesia namun di sisi lain mereka lebih mendengar fatwa-fatwa ulama Saudi dan kebijakan Kerajaan yang berbeda konteks dalam penerapannya. Soal Pemilu misalnya, satu sisi mereka meyakini wajib taat ulil amri (pemerintah) meskipun dzalim sekalipun, namun saat MUI dan pemerintah mengarahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu mereka justru golput.
ermasuk soal aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang dibolehkan Pemerintah RI melalui Undang-Undang negara, kaum Salafi justru menghukumi haram karena masuk kategori khuruj(pembangkangan). Alhasil, mereka mencap khawarij muslim yang berunjuk rasa kepada penguasa meski MUI sendiri tidak melarangnya sepanjang dilakukan dengan tertib. Jika aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang esensinya adalah mengemukakan kritik atau pendapat disebut membangkang, maka bagaimana posisi lembaga resmi negara seperti DPR yang tiap hari mengkritik pemerintah? Apakah akan disebut sebagai khuruj yang dilembagakan atas peran mengkritik kebijakan pemerintahan? Tentu tidak.
Dalam prinsip ketatanegaraan RI, pemerintahan eksekutif yang sehat adalah pemerintahan yang terkontrol secara seimbang, baik melalui lembaga perwakilan (DPR dan DRPD) ataupun langsung (mengemukakan pendapat). Mereka yang melarang aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi, pada intinya menghendaki pemerintahan diktator tanpa control sebagaimana terjadi kini terjadi di kawasan Teluk (khususnya Arab Saudi) . Di sinilah salah konteks kaum Salafi Indonesia.
Penutup
Demonstrasi adalah upaya menyampaikan pendapat secara bersama-sama. Pendapat yang disampaikan dengan beramai-ramai mungkin lebih mudah didengar dan ditanggapi. Unjuk rasa tidak ada dalil yang mengharamkan dan mengharuskannya secara eksplisit. Oleh karena itu, sesuai dengan kaidah fikih “kalau tidak ada nash yang melarang atau menyuruhnya, maka kembali kepada hukum asal yaitu boleh”. Kebolehan menyampaikan pendapat didepan umum adalah implikasi dari negara yang menganut sistem demokratis. Jangan sampai ada pelarangan-pelarangan kepada orang yang ingin berdemonstrasi atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama.
Yang perlu diperhatikan dalam berunjuk rasa bagi umat islam khususnya, adalah dengan mengedepankan nilai-nilai islami. Tidak boleh ada perusakan, mengganggu ketertiban umum, melakukan kekerasan, apalagi memaksakan kehendak. Selain itu Undang-undang juga mengatur tata cara menyampaikan aspirasi di depan umum. Hal inilah yang perlu ditaati bagi demonstran-demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya melalui demontrasi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menggengam Surga (bagian satu)

Surga dalam pandangan islam Dalam pandangan islam surge adalah sebuah tempat akhir dari perjalanan panjang manusia yang di sediakan bagi...