Ketika Salafi anti dengan “demo”
Oleh:ahmad
Budiman
Beberapa teman saya sering memposting di berbagai
akun media sosialnya tentang hukum “berdemo” seperti gerakan 212 atau yang
terbaru sekarang yaitu gerakan bela tauhid, dengan berbagai alasan mereka
membuat pernyataan yang intinya adalah demo itu haram. Sebagai contoh mereka katakan
bahwa demo tidak ada pada zaman Nabi dan sahabatnya,demo hanya mengandung
mudorat,demo hanya menjadi polusi dll,lebih lengkapnya silahkan lihat di Youtube
begaimana pernyataan ulama-ulama salafi (salafi mainstream) tentang demo baik
yang di luar negri khususnya arab Saudi atau yang di Indonesia,
pertanyaan apakah demo itu haram? Atau mungkin ada
sesuatu di balik layar sehingga mereka gencar menyatakan bahwa demo itu haram.
Hukum
demo dalam islam
Dalam bahasa arab demo disebut “muzaharaat” secara
jelas tidak ada ditemukan dalil yang menyatakan bahwa demo itu haram dan juga
sebaliknya tidak ad dalil yang jelas menyatakan bahwa demo itu di bolehkan,lalu
jika demikian bagaimana hukumnya,tentu kita kembalikan pada hukum asal yakni “ hukum
asal pada segala sesuatu adalah boleh,selama tidak ada nash yang
mengharamkannya ”oleh karenanya demo adalah hal yang dibolehkan asalakan tidak
mengganggu kemaslahatan umum.
Salah satu ulama salafi yang gencar menyatakan demo
haram adalah Shalih bin fauzan bin Abdullah al fauzan,beliau menyatakan yang
intinya adalah “dermonstarsi tidak ditemukan dalam islam dan hanya menimbulkan
pertumpahan darah dan kerusakan harta benda maka oleh sebab itulah demo di haramkan”
Menurut pandangan kami pernyatan ulama salafi yang
menyyatakan bahwa demo adalah sebab dari pertumpahan darah dan kerusakan harta
benda adalah tidak cocok,apakah semua demo berkhir dengan pertumpahan darah
atau kerusakan harta benada? Tentu tidak, oleh karnanya menurut hemat kami
pernyataan ulama salafi yang menyatakan pernyatan seperti diatas adalah lebih
kepada alasan politis karena beliu-beliau ini adalah para mufti kerajaan Saudi
Arabia yang menganut monarki absoulut yang mana tidak ada membuka celah untuk
berdemonstrasi bagi warganya.
Sikap
Apolitis
Mengutip tulisan
Muhmmad zulfian dalam artikelnya beliau menuliskan
Secara umum, jamaah Salafi tidak mempunyai konsep sosial-politik apalagi metode mengishlah negara. Bagi mereka, wajib hukumnya untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaan sang pemimpin selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada pemerintah tersebut terpengaruh oleh sejarah negara saudi sebagai basis ideologi Salafi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).
Secara umum, jamaah Salafi tidak mempunyai konsep sosial-politik apalagi metode mengishlah negara. Bagi mereka, wajib hukumnya untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaan sang pemimpin selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada pemerintah tersebut terpengaruh oleh sejarah negara saudi sebagai basis ideologi Salafi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).
Salafi bercita-cita mengadopsi kehidupan generasi salaf
yang hidup di jazirah Arab ribuan tahun lalu tanpa memisahkan mana
perkara tsawabit (permanen) dan mana yang mutaghayyirat
(dinamis) dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia. Mereka
mempraktekkan secara letterlijk apa-apa yang ada di masa
salaf hingga ke ranah sosial budaya dan politik sekalipun. Meskipun
kenyataannya, cara merujuk generasi salaf tersebut didasarkan atas penafsiran
para ulama kontemporer Arab Saudi seperti Syaikh Nasiruddin al-Albani, Syaikh
Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan, dst. Yang jelas, seluruh ulama di
dunia sudah barang tentu merujuk generasi Salaf dan tidak terbatas pada
ulama-ulama Saudi tersebut.
Alhasil, pandangan sosial-politik kaum
salafi justru pada akhirnya mengikuti kebijakan Raja dan para ulama dalam
konteks masyarakat Arab Saudi yang sama sekali berbeda dengan kondisi
sosial-politik Indonesia. Padahal di Arab Saudi, seluruh aspek kehidupan diatur
negara hingga imam masjid pun ditunjuk dan digaji kerajaan. Tugas rakyat hanya
satu; patuh pada perintah Raja
Sementara di tanah air sudah ada Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi jamaah dan ormas Islam di Indonesia
dalam menentukan sikap kaum muslimin. Hal ini yang menjadikan kaum salafi
menderita gagap sosial dimana satu sisi mereka tinggal di bumi Indonesia namun
di sisi lain mereka lebih mendengar fatwa-fatwa ulama Saudi dan kebijakan
Kerajaan yang berbeda konteks dalam penerapannya. Soal Pemilu misalnya, satu
sisi mereka meyakini wajib taat ulil amri (pemerintah) meskipun dzalim
sekalipun, namun saat MUI dan pemerintah mengarahkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pemilu mereka justru golput.
ermasuk soal aksi unjuk rasa atau
demonstrasi yang dibolehkan Pemerintah RI melalui Undang-Undang negara, kaum
Salafi justru menghukumi haram karena masuk kategori khuruj(pembangkangan).
Alhasil, mereka mencap khawarij muslim yang berunjuk rasa kepada penguasa meski
MUI sendiri tidak melarangnya sepanjang dilakukan dengan tertib. Jika aksi
unjuk rasa atau demonstrasi yang esensinya adalah mengemukakan kritik atau
pendapat disebut membangkang, maka bagaimana posisi lembaga resmi negara
seperti DPR yang tiap hari mengkritik pemerintah? Apakah akan disebut
sebagai khuruj yang dilembagakan atas peran mengkritik
kebijakan pemerintahan? Tentu tidak.
Dalam prinsip ketatanegaraan RI,
pemerintahan eksekutif yang sehat adalah pemerintahan yang terkontrol secara
seimbang, baik melalui lembaga perwakilan (DPR dan DRPD) ataupun langsung
(mengemukakan pendapat). Mereka yang melarang aksi unjuk rasa ataupun
demonstrasi, pada intinya menghendaki pemerintahan diktator tanpa control
sebagaimana terjadi kini terjadi di kawasan Teluk (khususnya Arab Saudi) . Di
sinilah salah konteks kaum Salafi Indonesia.
Penutup
Demonstrasi adalah upaya menyampaikan
pendapat secara bersama-sama. Pendapat yang disampaikan dengan beramai-ramai
mungkin lebih mudah didengar dan ditanggapi. Unjuk rasa tidak ada dalil yang
mengharamkan dan mengharuskannya secara eksplisit. Oleh karena itu, sesuai
dengan kaidah fikih “kalau tidak ada nash yang melarang atau menyuruhnya, maka
kembali kepada hukum asal yaitu boleh”. Kebolehan menyampaikan pendapat didepan
umum adalah implikasi dari negara yang menganut sistem demokratis. Jangan
sampai ada pelarangan-pelarangan kepada orang yang
ingin berdemonstrasi atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama.
Yang perlu diperhatikan dalam berunjuk
rasa bagi umat islam khususnya, adalah dengan mengedepankan nilai-nilai islami.
Tidak boleh ada perusakan, mengganggu ketertiban umum, melakukan kekerasan,
apalagi memaksakan kehendak. Selain itu Undang-undang juga mengatur tata cara
menyampaikan aspirasi di depan umum. Hal inilah yang perlu ditaati bagi
demonstran-demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya melalui demontrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar